Survei yang dilakukan oleh Nikkei Research untuk Reuters selama periode 4–13 Juni 2025 mengungkapkan bahwa mayoritas perusahaan di Jepang menilai dampak dari tarif Amerika Serikat masih dalam batas yang dapat diterima. Lebih dari 71% responden menyatakan efek tarif AS sesuai dengan ekspetasi awal, sementara 84% tetap berkomitmen melanjutkan rencana investasi mereka untuk tahun fiskal saat ini, yang di Jepang umumnya berpola dari April hingga Maret.
Tarif AS: Bagaimana Riilnya?
Amerika Serikat memberlakukan tarif umum sebesar 10% atas sebagian besar impor dari negara-negara mitra dagang, termasuk Jepang. Selain itu, ada rencana tarif timbal balik hingga 24% terhadap produk Jepang yang diperkirakan berlaku mulai Juli, jika tidak tercapai kesepakatan perdagangan. Tak kalah penting adalah tarif 25% terhadap kendaraan—produk yang menjadi tulang punggung ekspor Jepang ke Amerika.
Produk otomotif menjadi fokus utama, karena Jepang sangat bergantung pada ekspor mobil. Meski begitu, data menunjukkan bahwa para produsen masih mampu mengelola strategi harga dan rantai pasokan mereka untuk menjaga volume ekspor.
Komitmen Terhadap Investasi Jangka Panjang
Alasan utama di balik sikap konsisten perusahaan-perusahaan Jepang berasal dari pandangan bahwa tension tarif ini bersifat temporer dan administrasi Trump yang memberlakukan kebijakan tersebut hanya menjabat hingga tahun 2028. Banyak manajer perusahaan berkata, “Jika kita menghentikan investasi jangka panjang sekarang, kita akan kalah saing dibanding negara Asia lainnya.” Mereka meyakini bahwa melanjutkan rencana investasi akan membuahkan keunggulan kompetitif ketika kebijakan proteksionis mereda.
Sentimen Produsen Menurun, Tapi Masih Positif
Selain survei tarif, Reuters juga melaporkan kepercayaan produsen Jepang berdasarkan survei Tankan. Meski masih berada di zona positif, sentimen mereka turun dari +8 pada Mei menjadi +6 pada Juni, dan diperkirakan turun lagi ke sekitar +2 dalam tiga bulan ke depan. Penurunan ini dikaitkan dengan kekhawatiran akibat ketidakpastian terkait tarif AS dan penurunan permintaan dari China. Produsen otomotif bahkan dilaporkan mengalihkan sebagian produksi ke AS untuk mengurangi beban tarif, yang berdampak pada pemasok domestik Jepang.
Sementara itu, sektor jasa masih menunjukkan optimisme, dengan indeks sentimen stabil di angka +30, walau diperkirakan turun menjadi +24. Pertumbuhan di sektor ini didukung oleh peningkatan investasi di bidang TI dan pariwisata inbound, meski tekanan dari biaya tenaga kerja dan kekurangan pekerja menjadi tantangan tersendiri.
Kebijakan Pajak Penjualan: Terbagi Dua
Survei juga menyoroti pandangan bisnis Jepang terkait pajak penjualan (sales tax). Di tengah meningkatnya tekanan inflasi dan menjelang pemilihan majelis tinggi yang akan berlangsung Juli, penerapan pajak ini menjadi isu krusial.
Saat ini, tarif pajak penjualan umum di Jepang adalah 10%, sedangkan untuk barang makanan dan surat kabar dikenakan 8%. Hasil survei menunjukkan bahwa 40% perusahaan menolak adanya penurunan pajak, sedangkan sisanya mendukung pengurangan—terutama untuk meringankan beban masyarakat selama periode inflasi. Beberapa pihak oposisi, khususnya Partai Demokrat Konstitusional, mengusulkan penurunan tarif makanan menjadi 0% selama satu tahun. Namun, Perdana Menteri Shigeru Ishiba menolak gagasan tersebut karena penggunaan penerimaan pajak ini untuk membiayai jaminan sosial di tengah populasi yang semakin menua.
Seorang petinggi perusahaan logistik mengatakan bahwa penurunan pajak secara menyeluruh bisa membantu “melawan inflasi dan merangsang konsumsi,” terutama jika kuat dilakukan sebelum pemilu. Namun, survei lain mencatat bahwa 63% responden menolak pemerintah menggunakan penerbitan obligasi sebagai cara untuk mengganti pendapatan pajak yang hilang dari pemotongan, menyusul kekhawatiran bahwa beban jaminan sosial akan meningkat seiring dengan populasi yang menua.
Komposisi Koalisi dan Politik Pascapemilu
Pemilu majelis tinggi akan mengguncang susunan pemerintahan yang dipimpin oleh Partai Demokrat Liberal (LDP) dan koalisi junior Komeito. Survei menyebutkan 32% menghendaki koalisi saat ini dipertahankan, sementara 20% berharap Partai Demokrat untuk Rakyat (DPFP) turut masuk ke koalisi pemerintahan.
LDP dan Komeito sempat kehilangan mayoritas di DPR tahun lalu, membuat Ishiba kesulitan dalam mengesahkan sejumlah kebijakan. Partai DPFP bahkan telah memperbanyak jumlah kursinya di DPR, menambah kompleksitas peta politik Jepang.
Ekspor Melemah dan Tantangan Ekonomi Lebih Luas
Data perdagangan terbaru menunjukkan bahwa ekspor Jepang untuk bulan Mei mengalami penurunan pertama dalam delapan bulan—turun 1,7% YoY menjadi 8,1 triliun yen—dengan ekspor ke AS menyusut 11,1% dan ke China turun sekitar 8,8%. Penyebab utama penurunan tersebut adalah melemahnya nilai ekspor otomotif (turun 24,7%), sementara komponen mobil turun sampai 19%. Meskipun dalam volume fisik penurunan ekspor ke AS hanya 3,9%, ini menunjukkan bahwa perusahaan Jepang banyak yang menyerap beban tarif dan menghindari kenaikan harga bagi konsumen.
Penurunan ekspor ini berdampak pada defisit perdagangan, tercatat defisit sebesar 637,6 miliar yen di bulan Mei, sedikit lebih baik daripada perkiraan defisit 892,9 miliar yen.
Dampak pada Kebijakan Moneter Bank of Japan
Dihadapkan dengan tekanan ekonomi global dan ancaman perlambatan akibat tarif, Bank of Japan (BOJ) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga dalam pertemuan terakhirnya dan memperlambat laju penurunan pembelian obligasi—meskipun tetap menjalankan program tapering secara bertahap. Keputusan ini diambil sebagai bentuk kehati-hatian dalam menormalisasi kebijakan moneter, mengingat ekonomi masih lemah dan tekanan inflasi belum stabil.
-
Mayoritas perusahaan Jepang (71%) menilai tarif AS masih dalam ekspektasi, dan 84% tidak akan mengubah rencana investasi tahun ini karena yakin dampaknya bersifat sementara dan terbatas.
-
Sentimen produsen merosot, namun tetap berada di zona positif (+6). Produsen otomotif bahkan memindahkan sebagian operasional ke AS guna meredam beban tarif.
-
Sektor jasa lebih optimis, didorong oleh investasi TI dan pariwisata “inbound”.
-
Isu pajak penjualan menjadi topik panas menjelang pemilu, dengan suara pro-kontra terhadap pemotongan pajak sebagai cara meredam inflasi.
-
Politik pascapemilu dipanaskan oleh dinamika koalisi, dengan dukungan signifikan bagi LDP‑Komeito tetap berkuasa, meski ada desakan supaya DPFP ikut terlibat.
-
Kinerja ekspor melemah, terutama ke AS dan China akibat beban tarif, yang berdampak pada defisit perdagangan dan menekan ekonomi domestik.
-
BOJ memilih kebijakan hati-hati, memperlambat tapering obligasi dan menunda kenaikan suku bunga untuk menopang perekonomian yang masih diliputi ketidakpastian.
Secara keseluruhan, meski ada tekanan dari tarif Amerika Serikat dan perlambatan ekonomi global, banyak perusahaan Jepang memilih untuk bertahan dan melanjutkan investasi jangka panjang. Namun, di sisi lain, tekanan dari sisi fiskal, sosial, dan politik menunjukkan bahwa Jepang sedang menghadapi sejumlah tantangan signifikan dalam menjaga stabilnya ekonomi dan sistem keuangannya.